15/03/10

TEGUR DAN LANGSUNG KABUR

Saat lagi diskusi dengan seorang teman di Gtalk, terbersit hati ini untuk menuliskan sebuah tema yang biasa dan itu-itu aja, yakni “nasihat”. Judul ini saya ambil tak lain karena saya sendiri atau bahkan pembaca pernah mengalaminya sendiri baik sebagai pihak pertama maupun pihak kedua. Pihak yang pertama dimaksud yakni orang yang memberi nasihat atau teguran, sedangkan pihak kedua yakni orang yang ditegur.

Di postingan sebelumnya , telah saya jelaskan apa yang terlintas dalam benak saya, bahwa nasihat itu bermacam-macam bentuk dan caranya. Nasihat yang dikenal dalam masyarakat pada umumnya adalah suatu bentuk ucapan yang ditujukan kepada person atau golongan agar orang tersebut tetap pada jalur “kebaikan”. Kebaikan di sini bisa bermakna “baik menurut pribadi yang menasihati” atau bisa juga “baik menurut suatu sistem/hukum yang telah ditetapkan”.

Ada beberapa atau bahkan banyak orang yang menasihati tapi tanpa dilandasi ilmu yang cukup, sehingga yang timbul adalah kerusakan, kesalahpahaman, ketimpangsiuran, ataupun jidal (debat) yang tidak berkesudahan. Maka barangsiapa yang ingin menasihati saudaranya, hendaklah ia mempunyai pengetahuan tentang kaidah-kaidah dalam menerapkan nasihat itu sendiri. Baik dari sisi ilmu syari’at, cara menasihati, maupun sisi orang yang dinasihati.

Setelah kita muter-muter ga karuan menjelaskan tentang nasihat, mari kita baca inti dari postingan ini. Yuuukk…

Di postingan yang lalu saya telah sebutkan beberapa macam nasihat, yaitu ucapan secara lemah lembut, sindiran, teguran, ancaman, tahdzir, hukuman fisik, hingga hajr (boikot). [CMIIW jika saya salah dalam urutannya]. Kali ini saya tak akan menjelaskan secara panjang lebar macam-macam jenis nasihat ini. Yang ingin saya tekankan adalah nasihat dalam bentuk teguran.

Teguran atau ucapan keras biasa dilakukan oleh kedua orangtua kepada anaknya, atau seseorang kepada sahabatnya, atau kakak kepada adiknya. Namun bisa juga dilakukan oleh seorang penguasa kepada rakyatnya, karena penguasa mempunyai hak untuk melakukan semua jenis nasihat di atas. Adapun kepada orang yang baru dikenal, maka hukum asal dari menasihati adalah berucap dengan lemah lembut. Sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [An Nahl: 125]

Orang tua pun juga demikian. Jika seorang anak bersalah, maka hendaknya ia berucap dengan lemah lembut pada sang anak. Jika kemudian si anak membandel, maka barulah orang tua bisa menerapkan teguran, yakni ucapan yang lebih keras.

Bagi para blogger atau blogwalker, tentunya sering menjumpai “perhelatan” seru seputar “nasihat menasihati” atau tepatnya disebut “debat kusir” di sejumlah blog yang bernuansa religi. Banyak diantara para komentator-komentator ulung yang “berilmu” (???) menerapkan bentuk nasihat ini, atau bahkan lebih keras lagi yakni tahdzir yang dibumbui dengan celaan-celaan baik secara implisit ataupun eksplisit. Tapi musibahnya, mereka tak menyadari bahwa nasihat yang mereka terapkan sangatlah jauh dari yang diharapkan.

Demi Allah, demi Allah, demi Allah, tujuan dari nasihat-nasihat yang kita terapkan adalah agar saudara kita kembali dari jalan kesalahan ke jalan yang lurus. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sempurna keimanan seseorang di antara kalian hingga ia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan itu bagi dirinya sendiri.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Artinya adalah bahwa kitapun menginginkan kebenaran dan kebaikan itu ada pada orang yang kita nasihati. Dan artinya pula bahwa nasihat yang kita lakukan haruslah berdasarkan atas keikhlasan karena Allah semata, bukan karena kemarahan, bukan karena kebencian, atau bukan karena balas dendam.

Sekarang kembali lagi kepada orang yang dinasihati. Kebanyakan orang dinasihati adalah karena orang tersebut salah dalam berucap ataupun bertindak. Katakanlah ada seorang teman yang satu kampus dengan kita, dia sering kita lihat tindak tanduknya, akan tetapi kita tidak mengenalnya, begitu juga dengan dia. Suatu ketika dia berucap perkataan yang salah, ataupun bertindak salah. Datanglah kita selaku penasihat besar kepada teman asing kita tersebut seraya berkata: “Engkau telah salah, mestinya engkau begini dan begini… Allah berfirman bla bla bla, rasulullah bersabda bla bla bla. Janganlah engkau seperti ini, karena ini tidak ada contohnya bla bla bla…”. Setelah berkata demikian kita langsung ngeloyor pergi…. melenggang penuh makna…. Tinggal lah teman kita sendiri…. penuh amarah dan murka….

Hahahaha… begitulah kerap ku temui sebagian orang memberi nasihat di dunia maya. Datang seenaknya dan pergi dengan meninggalkan luka. Kini tinggal lah sang empunya wisma, merana sakit hati berbalut nista. :D [SR. Rismaka: 1]

Ya begitulah kondisi orang yang kita nasihati dengan metode “blas-beng” tersebut, yakni marah, sakit hati, merasa terhina, de el el. [Blas beng: Mampir blas, pergi beng; maksudnya datang seenaknya, "ngacak-acak", abis itu melenggang kangkung seenaknya] . Banyak kok kita temui di luar sana orang-orang yang kayak gitu. Walaupun yang diucapkannya adalah al Haq (kebenaran), namun caranya sungguh menyakitkan hati. Dan inilah salah satu jenis metode nasihat yang saya pribadi sangat tidak menyukainya.

Banyak orang yang dinasihati dengan cara seperti ini merasa jengah, marah, serta tidak terima. Bukan tidak terima dengan kebenaran yg disampaikan tsb, akan tetapi perasaan gengsinya lah yang membuat hatinya tertutup dari menerima kebenaran. Inilah salah satu kesalahan yang sering dilakukan oleh kita. Kita tidak menyadari bahwasanya banyak orang yang mengakui apa yang diajarkan oleh manhaj salaf itu benar adanya, akan tetapi kita-nya lah yang tidak menerapkan hikmah dalam berdakwah. Akibatnya adalah kerusakan.

Dimana-mana orang ramai menghujat manhaj ini disebabkan orang-orangnya yang “keras”, “tidak tau sopan santun”, “sok pahlawan”, dan lain sebagainya. Syaikh Shalih Al Fauzan menegaskan bahwa “sikap hikmah merupakan salah satu sikap yang kurang dimiliki oleh banyak para juru dakwah, sehingga mengakibatkan dakwah mereka kacau; dikarenakan mereka tidak kembali kepada metode dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam”. [Kata pengantar untuk kitab at-Tadarruj fi Da'wah an-Nabi, karya Ibrahim bin Abdullah al-Muthlaq (hal. 8)].

Dia datang bak pahlawan, Membawa pedang sang pejuang.
Menebas leher sang penentang, Tuk tegakkan panji kebenaran.
Selanjutnya melenggang pulang, Bersantai di atas ranjang.
Tak peduli pada sang penentang, yang seperti cacing kepanasan. Halaahh…
[SR. Rismaka: 2]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa untuk berdakwah, seseorang haruslah mempunyai tiga pilar pegangan, yakni: Ilmu, Al hilmu (bijaksana), dan Al anaah (tidak tergesa-gesa). Di antara tiga pilar ini, pilar yang paling utama dan yang paling penting adalah pilar pertama yaitu ilmu. Dan ilmu yang dimaksud di sini adalah Al Qur’an dan hadits serta pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salaf ash-shalih) .

Maka seseorang tidak akan bisa bersikap hikmah dalam berdakwah, melainkan jika dia melandaskan sikap-sikapnya di atas dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta pemahaman salaf ash-shalih. Dari sinilah terlihat jelas kekeliruan sebagian orang yang ‘mengesampingkan’ perintah-perintah Allah, apalagi perintah yang paling penting yaitu tauhid, atau ikut ‘larut terbawa arus’ adat masyarakat yang menyelisihi syari’at, semua itu dengan alasan hikmah dalam berdakwah. [Ad-Da'wah ila Allah wa Akhlaq ad-Du'at oleh Syaikh al-'Allamah Abdul Aziz bin Baz (hal. 25-26).]

Lantas bagaimanakah kita harus bersikap? Seyogyanya kita dalam menasihati seseorang, kita harus mempunyai pengetahuan tentang pribadi orang yang akan kita nasihati pula. Banyak faktor yang mempengaruhi sebuah nasihat itu bisa diterima atau bahkan ditolak oleh seseorang, antara lain: tingkat keilmuan seseorang, latar belakang keluarga (nyunnah atau bid’ah), gender, cara penyampaian, pasca penyampaian, kondisi keimanan, emosi, gengsi, dll.

Tingkat keilmuan seseorang amatlah berpengaruh besar terhadap nasihat yang disampaikan kepadanya. Janganlah kita menasihati orang awam dengan gaya bahasa ulama, yang disertai penjelasan gamblang seputar ayat-ayat dan hadits yang kita bawakan. Belum lagi pake istilah-istilah dalam bahasa arab. Orang yang kita nasihati bukannya mengerti, akan tetapi malah bengong dengan apa yang kita celotehkan. Dan kasihanilah diri kita ini yang seperti burung perkutut, berkicau kesana kemari tanpa ada yang mengerti maksud dari perkataan kita.

Kemudian latar belakang keluarga orang yang dinasihati tersebut. Biasanya jika latar belakang dari keluarga tersebut sesuai dengan sunnah, insya Allah orang yang kita nasihati tersebut lebih mudah memahami dan menerima al Haq (kebenaran) yang kita bawakan. Akan tetapi jika latar belakang keluarganya berasal dari keluarga yang sering bahkan getol mengamalkan bid’ah, orang tersebut akan cenderung untuk membela perbuatan bid’ahnya. Mungkin diantara pembaca pernah mengalaminya, sebagai contoh menasihati orang tentang bid’ahnya yasinan atau tahlilan. Bisa ditebak orang itu berlatar belakang apa.

fewerpicGender, kondisi keimanan, emosi, dan gengsi akan saya tuliskan di kesempatan lain, Insya Allah. Kali ini saya akan lebih memfokuskan pada faktor “cara penyampaian” dan “pasca penyampaian”. Sesuai dengan judul pembahasan, yakni “tegur dan langsung kabur”, cara nasihat seperti ini sungguh teramat tidak terpuji. Bagaimana tidak, penasihat datang begitu saja tanpa mengenal orang yang dinasihati tersebut, dan kemudian langsung menerapkan nasihat yang agak keras (teguran), dan setelah itu pergi begitu saja. Saya tanya, apa perasaan anda jika menjadi orang yang dinasihati tersebut? Pasti dalam hati akan berfikir: “Daleeeeemmmm..!!! (istilah jakarta), Siapa dia siy, bokap gue bukan, om juga bukan, temen juga bukan, berani-beraninya datang ga ketok pintu dulu, langsung marah-marah, gue diserang di rumah sendiri. Mang dia kira ini blog punya bapak moyangnya kali ya???”. [ Orang seperti ini nih tipe orang yang JAGO KANDANG ]. Begitulah, setidaknya satu orang pernah mengalaminya saat saya menasihatinya :D hohohooo, [semoga Allah mengampuni kekeliruan saya waktu itu.]

Seperti itulah perasaan dari orang yang kita nasihati dengan cara tegur dan langsung kabur. Sudah merupakan tabiat manusia untuk membela apa yang diyakininya itu benar. Dan sudah menjadi watak manusia pula bahwa ia ingin dihormati, terlebih di daerah kekuasaannya sendiri, baik itu kampung, rumah, sampai blog. Kita tidaklah pantas selaku orang yang menginginkan kebaikan, tapi malah menasihatinya dengan cara tidak terhormat seperti itu. Sadarilah, bahwa dia (orang yang kita nasihati tersebut) bukanlah anak kita, bukan pula sahabat kita, yang mana dalam persahabatan itu tidak mengenal kata “maaf” dan “terima kasih”, karena masing-masing telah saling percaya, mengerti, dan ikhlas dengan kondisi sahabatnya.

Maha suci Allah yang telah menciptakan manusia dengan berbagai macam watak dan perasaan yang berbeda. Oleh karenanya dapat kita ambil hikmah dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” [At Tahrim: 6]
Bahwasanya sebelum kita mendakwahi orang lain terlebih dahulu, diwajibkan memulai dakwah kepada keluarga kita. Karena kitalah yang paling mengerti tentang kondisi keluarga kita, watak mereka kah, keilmuan mereka kah, atau perasaan mereka saat kita memberikan teguran.

Biasanya seorang ayah jika memarahi anaknya, hingga kemudian sang anak menangis, maka sang ayah tersebut berlaku lembut kepada anaknya, menawarkan makanan, mencium kepalanya, dan macem-macem sebagai bentuk rasa sayangnya. Itulah yang dimaksudkan dengan kondisi “pasca penyampaian” nasihat. Nah sikap tersebutlah yang jarang diingat oleh sebagian dari kita dalam menasihati orang lain. Seolah-olah kita tahu bahwa orang yang kita tegur dan kabur, akan langsung tunduk dan patuh pada kebenaran yang kita sampaikan. Hahaha lucu sekali kita ini, Ge Er banget. Ga tau apa ya, kalau sebenernya dia tuh dongkolnya bukan main.

Oleh karena itu ya saudaraku seiman, terlebih semanhaj, marilah kita dalam mendakwahi (menasihati) orang-orang yang salah ataupun menyimpang dari ajaran rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, hendaknya mengerti dulu tentang kondisi dan watak orang tersebut. Jika kita melihat suatu kesalahan yang dilakukan oleh orang yang belum kita kenal betul kepribadiannya, lantas dengan percaya dirinya, kita menerapkan nasihat yang agak keras (teguran), apalagi setelah itu dibarengi dengan tindakan pengecut (yakni kabur), maka yang terjadi adalah kesia-sia-an. Tahanlah diri kita dalam menasihatinya (baca: menegur).

Mungkin akan ada yang menyanggah: “kita bukan kabur, tapi menghindari perdebatan yang ada”. Saya katakan, bahwa kitapun telah salah, karena kitalah yang memulai perdebatan tersebut. Kenapa? Karena kita belum mengetahui watak dari orang tersebut yang ahli ra’yu (mengutamakan akal daripada dalil), ahli jidal (debat), selalu berputar-putar dalam memberi penjelasan, yang mengakibatkan kita jadi eneg sendiri meladeninya. Sebelum kita menasihatinya, kita harus melihat manfaat atau mudharat dari nasihat yang akan kita sampaikan. Jika ternyata mengandung mudharat, maka tahanlah pena-pena kalian, tinggalkanlah blog tersebut tanpa harus meninggalkan jejak berupa teguran. Jika kalian terpaksa harus melakukannya, maka nasihatilah ia secara sembunyi-sembunyi dan tetap mengedepankan kelemah lembutan, lewat email contohnya, atau bisa dengan bertemu langsung.

Oleh karena itu wahai saudaraku, kita seyogyanya meneladani rasulullah dalam berdakwah. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mengedepankan ta’lif (berlemah lembut) dalam berdakwah pada orang yang belum kuat keimanannya. Jangan serta merta kita langsung menganggap bahwa dakwah itu harus tegas, keras, harus menggunakan bahasa ulama yang ilmiyyah, harus bermuka serius, tulisan yang elegant, atau dengan kalimat-kalimat yang membuat orang awam akan merinding dan bergidik bulu kuduknya saat membaca tulisan kita.

Demikianlah, semoga kita bisa mengambil manfaat dari tulisan jelek ini, yang kemudian dapat kita aplikasikan secara istiqamah di dunia nyata maupun maya. Ingatlah, tiada seorangpun yang bebas dari kesalahan. Saya menuliskan ini tidak serta merta langsung mengamalkannya. Mungkin pembaca yang beruntung dapat melihat komentar saya yang “blas-beng” tersebut akan senyum-senyum sendiri, karena saya tidaklah konsisten dengan apa yang saya tulis. Perhatikanlah syair hikmah dari Imam al-Khalil Ibn Ahmad, guru Sibawaih: “Unzhur li qauli wa la tanzhur ila `amali; yanfa`ka qauli wa la yadhrurka taqshiri ” (Lihatlah ucapanku dan bukan amalku. Perkataanku akan memberi manfaat kepadamu, sedangkan kekuranganku dalam hal amal tidak akan memudharatkanmu.). [Syair ini dikutip dari blognya Abu Faris]

Wallahu a’lam.

Di Ambil Di SINI

SESUNGGUHNYA SEMUA ITU KARENA KITA SAYANG PADANYA…

Apapun namanya….
Baik itu:
1. Nasihat
2. Kritikan
3. Teguran
4. Hingga tahdzir atas nama jarh wa ta’dil

Semua itu adalah dalam rangka saling menasihati.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Agama itu nasihat, Agama itu nasihat, Agama itu nasihat.” Para sahabat bertanya: “bagi siapa ya rasulullah?”. Rasulullah pun menjawab, “bagi Allah, bagi kitabnya, dan bagi pemimpin kaum muslimin.”

Rasulullah juga bersabda, “tolonglah saudaramu yang berbuat dzolim dan yang dizolimi”. Para sahabatpun bertanya “bagaimana menolong yang berbuat dzolim?” maka rasulullah pun menjawab, “yakni dengan mencegah ia (yang berbuat dzolim) dari kedzolimannya.”

Ahlussunnah adalah yang paling sayang dengan makhluk. Maka dari itu saudaraku, sesungguhnya apa yang kami lakukan adalah karena kami sayang engkau…

Diambil di SINI

WANITA, SYAHWAT, DAN RIYA

Hari yang amat panas, sewaktu ku berjalan pulang dari suatu rumah… muncul di benakku pertanyaan: “Apakah cinta kepada seseorang bisa menginduksi kita untuk cinta kepada Allah?” Entahlah tiba-tiba saja terpikir pertanyaan seperti itu. Karena apa? Mungkin karena induksi masa lalu dari kehidupanku.

Sudahlah, kita fokuskan saja ke pertanyaan itu, “apakah cinta kepada seseorang bisa mempengaruhi kita untuk cinta kepada Allah?”. Jawabanya mungkin bisa! Bisa jika kita mengambil sisi bahwa seseorang yang kita cintai itu adalah rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, para sahabatnya ridwanullah ‘alaihim ajma’in, serta ulama dan orang-orang dari kalangan shalihin, As Syuhada.

Lalu bilamanakah timbul di benak kita pertanyaan: “Apakah cinta kepada seorang wanita (ajnabiyah) bisa mendorong kita untuk cinta kepada Allah?“

Teringat dengan suatu kisah masa lalu, dimana ada seorang teman yang bercerita bahwa ia suatu ketika bertambah semangatnya dalam ibadah, baik shalat wajib, shalat malam, berdzikir, tilawah Al Qur’an, dll. Titik??? Tidak, ia menuturkan bahwa ia mulai bersemangat ibadah semenjak ia mengenal seorang akhwat.

Salahkah ikhwan tersebut? Tunggu dulu, kita tidak berhak menghukuminya benar ataupun salah tanpa kita tahu hakikat cintanya kepada sang akhwat.

Kisah yang lain, bahwa seorang akhwat pernah menceritakan perjalanan ta’arufnya bersama seorang ikhwan. Akhwat tersebut menuturkan bahwa ikhwan (yang mengajak ta’aruf) tersebut sering membangunkannya tiap malam untuk mengajak shalat malam bareng. Bukan.., bukan berjama’ah. Maksudnya adalah shalat malam di rumah masing-masing.

Kisah yang lain pula, bahwa ada seorang ikhwan yang mengajak seorang akhwat untuk melaksanakan shaum senin-kamis. Dan sering kita dapati teman-teman ikhwan kita acapkali mengirimkan tausiyah-tausiyah via sms kepada seorang akhwat.

Terkesan dan secara dzahir perbuatan-perbuatan tersebut baik. Namun tidakkah kita sadari wahai saudarakku, apakah saat kita melakukan perbuatan-perbuatan tersebut itu didasari atas niat yang ikhlas hanya karena Allah???

Sering terpikir dalam benak ini, alangkah piciknya mereka (atau bahkan diri ini yang pernah melakukannya.. Allahul musta’an). Hanya karena ingin dianggap ‘alim-kah kita melakukannya? Atau hanya karena kita ingin membuat sang akhwat terpesona dengan semangat ibadah kita?

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa memperdengarkan kebaikannya, Allah akan memperdengarkan keburukannya (di dunia dan akhirat) dan barangsiapa yang memamerkan amalannya, Allah akan memamerkan keburukannya (di dunia dan akhirat).” [HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 2986, 2987 dari Jundub bin Abdullah radhiallahu 'anhu]

Sadarilah wahai saudaraku, bahwa rasa cinta kita kepada seorang akhwat itu bisa menimbulkan fitnah yang dapat menjerumuskan kita kepada murka Allah Azza Wa Jalla.

Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata: “Adapun kesyirikan di dalam keinginan dan niat, bagaikan laut yang tidak bertepi. Sedikit orang yang selamat darinya. Barangsiapa yang beramal namun menginginkan selain wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, meniatkan sesuatu yang bukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bukan karena meminta ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh dia telah melakukan kesyirikan di dalam keinginan dan niatan.

Ikhlas adalah seseorang memurnikan ucapan dan perbuatannya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, keinginan serta niatnya. Inilah agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan seluruh hamba dengannya, dan tidak akan diterima dari siapapun selain agama ini. Dan ini merupakan hakikat Islam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Inilah agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Barangsiapa membencinya, sungguh dia termasuk orang-orang yang paling bodoh.” (Al-Jawabul Kafi hal. 115, lihat ‘Aqidah At-Tauhid hal. 98)

Perlu kita renungkan lagi, benarkah kita mencintai akhwat itu, ataukah hanya syahwat yang melanda diri-diri kita? Tanyalah hati kita masing-masing. Hanya kepada Allah lah kita meminta petunjuk dan pertolongan.

Di ambil di SINI